Mengenai kewenangan Presiden mengangkat dan memberhentikan Menteri diatur dalam Psl. 17 UUD 1945, Menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dan ayat 2 UU No.3 Tahun 2008 Tentang Kementrian Negara, Menteri diberhentikan dari jabatannya oleh Presiden. Walaupun dalam konstitusi dinyatakan presiden mempunya hak Prerogatif tentang Kabinet, tetapi untuk melakukan reshufle kabinet tersebut Presiden harus mempertimbangkan landasan historis kebersamaan Partai Koalisi, landasan filosofis kebangsaan Indonesia, dan landasan Politis.
Dimana koalisi partai pada waktu itu adalah sebagai landasan untuk kemenangan Pemilu. Nilai nilai inilah yang dipertimbangkan agar jangan hati rakyat yang menyuarakan suaranya tersebut merasa dirugikan.
Polemik tentang jalannya koalisi dinilai bersifat inharmonis (tidak sejalan) adalah akibat komunikasi Partai Politik (Parpol) yang berkoalisi baik dalam kabinet maupun dalam legislatif serta dalam Sesgab (Sekretaris Gabungan) sama sekali tidak pernah dilakukan dialog silahturahmi yang bersifat berkesinambungan dan transparan. Akibat inharmonis dan miscommunication yang memunculkan pendapat seolah olah Partai Koalisi mencoba menciptakan manuver poiltik yang dapat membahayakan terhadap koalisi pada saat ini.
LSM-PHP mengharapkan kepada Pemerintah dan juga kepada Presiden RI dapat membuat satu kebijakan Politik Koalisi roda pemerintahan yang nyaman dan stabil. Agar rakyat tidak mengambil jalan berpikir masing masing dan juga kebijakan masing masing yang bisa menjurus kepada disintegrasi bangsa. Dengan adanya muatan gerakan demonstrasi yang menciptakan iklim politik seperti tidak menentu dan tidak ada panutan. Ini dapat menjurus kepada ketidakpercayaan investasi di Indonesia. Baik buruknya reshuffle harus dianalisa, karena dapat menumbuhkan gejolak politik dan muatan persoalan hukum yang ada di Indonesia yang belum tuntas. Ini dapat berakibat persiapan kearah Pemilu 2014 dapat terganggu dalam situasi yang lancar, aman, dan stabil.
Kebijakan reshuffle yang dapat menciptakan membelah buah simalakama adalah menciptakan pro dan kontra yang sampai ke masyarakat lapisan bawah yang bisa mengganggu jalannya roda Pemerintahan kedepan. Dengan demikian kebijakan reshuffle harus menjadi pertimbangan Presiden menerapkan Hak Prerogatif sesuai dengan konstitusi perlu dipertimbangkan kedepan. Dengan adanya miscommunication tersebut, maka sudah saatnya dibuka komunikasi politik yang rutin antara sesama koalisi, baik di dalam menjalankan kebijakan ekonomi, kebijakan politik, kebijakan dalam penegakan hukum, kebijakan menanggulangi kemiskinan dan kebijakan lainnya. Jika selama ini adanya dialog politik yang bagus transparan dan rutinitas diantara partai koalisi, maka tidak akan muncul adanya angket pajak di DPR-Rl. Untuk itu LSM-PHP menyarankan kepada Presiden RI dapat mempertimbangkan reshuffIe kabinet bukan kearah membe!ah buah simalakama, ‘tapi dapat kiranya hanya melakukan revisi personality dari pejabat yang dialihkan dalam kabinet, tetapi tetap yang diusulkan partai politik yang koalisi tersebut. Terima kasih. 007