Pena Media Medan,
Bangsa Indonesia dengan dasar Keputusan Konstitusi dengan TAP MPR-RI No. XI/MPR/1998 yang mengharapkan agar Negara Republik Indonesia di Jalankan oleh Pemerintah menjadi Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme dan untuk itu dibentuk lembaga KPK yang besifat adhock agar pemberantasan korupsi untuk mewujudkan negara yang bersih di Indonesia dapat segara terwujud berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 yang disebut dengan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Bangsa Indonesia dengan dasar Keputusan Konstitusi dengan TAP MPR-RI No. XI/MPR/1998 yang mengharapkan agar Negara Republik Indonesia di Jalankan oleh Pemerintah menjadi Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme dan untuk itu dibentuk lembaga KPK yang besifat adhock agar pemberantasan korupsi untuk mewujudkan negara yang bersih di Indonesia dapat segara terwujud berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 yang disebut dengan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Walaupun tahun 2002 telah dibentuk lembaga KPK tapi hingga saat ini prakte korupsi semakin merajarela dan tidak ada rasa takut dan menganggap keberadaan KPK hanya bersifat Spekulatif dan mengelabui terhadap perbuatan korupsi dengan cara kebijakan yang mengarah kepada tindakan terselubung untuk merongrong uang Negara disemua sector didalam birokrasi Pemerintahan RI.
Dengan memperhatikan praktek korupsi yang semakin merajarela dan tidak ada efek jera serta rasa takut oleh pemegang Birokrasi, maka KPK sudah saatnya membuat suatu trobosan hukum agar menafsirkan melalui suatu tuntutan terhadap Pejabat koruptor kelas kakap diwujudkan merupakan kejahatan yang merusak ekonomi. Sebagai payung hukum yang harus ditrobos oleh KPK membuat satu uraian kasus dimana koruptor kelas kakap dapat dijerat pasal 2 ayat 2 UU No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang mana pasal tersebut menjelaskan dalam tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Sedangkan pasal 2 ayat 1 UU tersebut menyatakan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidanan penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (Dua Puluh) tahun dan denda paling sedikit 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dari ketentuan tersebut KPK harus mempuyai tekad untuk menumbuhan efek jera dan rasa takut terhadap penguasa di Indonesia ini agar tidak melakukan praktek korupsi, maka untuk itu KPK harus berani membuat penafsiran Pasal 2 ayat 2 dari penjelasan yang menyatakan yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan dimaksudkan sebagai pemberantasan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam kadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
KPK harus membuat penafsiran Negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter karena kondisi keuangan negara sat ini memasuki tahap krisis ekonomi disebabkan masih banyak bangasa dan rakyat Indonesia yang miskin dan ada rakyat yang mati karena tidak makan dan juga ada rakya yang bunuh diri karena miskin. Ada juga rakyat berhenti sekolah karena miskin, pengangguran meningkat terus menerus, pengemis meningkat, begitu juga kondisi Petani dan Nelayan masih mempunyai kehidupan yang miskin walaupun telah berupaya untuk mengadu nasib dalam pekerjaannya tersebut. Brometer inilah yang harus dikemukakan KPK sebagai menunjukan Indonesia saat ini dalam krisi ekonomi dan krisis moneter termasuk juga nilai tukar Rupiah yang semakin menurun.
Dengan kondisi ekonomi negara saat ini yang dalam barometer krisis, maka semua kasus korupsi yang sedang dilakukan penyidikan oleh KPK saat ini, maka sangat wajar dan tepat materi penyidikan terhadap Tersangka maupun saksi dipertanyakan dengan kondisi ekonomi Negara dan kemudian menerapkan pasal 2 ayat 2 UU No. 31 tahun 1999 agar terhadap koruptor dapat dijatuhkan hukuman mati. Supaya tumbuh efek jera dan rasa takut pejabat yang menggunakan uanga negara untuk kepentingan pribadi dan membuat pembangunan bangsa dan negara menjadi tersendat serta menumbuhkan pengangguran serta kemiskinan yang meningkat di Indonesia.
Sebagai pertimbangan KPK untuk menuntut hukuman mati tersebut terhadap Koruptor karena telah merusak ekonomi bangsa menerapkan teori retribution yang dikemukan John Kaplan yang mana John Kaplan mengatakan untuk menindak kejahatan-kejahatan pidana tersebut dapat diajukan dengan teori yaitu : Teori Pembalasan (the revenge theory) dan teori penebusan dosa (the expiation theory)
Dalam teori pembalasan dan teori penebusan dosa ini tujuannya adalah agar menumbuhkan efek jera terhadap penjabat yang menjalankan boirokrasi pemerintah Pemerintah dengan mempergunakan uang negara. Tujuan teori retribution ini agar terwujud kesejahteraan rakyat dalam bernegara yang membuat kehati-hatian Pejabat untuk menjalankan tugasnya dan kewenangannya tersebut. Semoga KPK dapat menerapkan tuntutan hukuman mati untuk koruptor kakap malalui teori retribution atau melalui teori penebusan dosa. Artinya pejabat yang korupsi yang telah memiskinkan rakyat sebagai penebusan dosanya harus dihukum mati.
(EJG)
Dengan memperhatikan praktek korupsi yang semakin merajarela dan tidak ada efek jera serta rasa takut oleh pemegang Birokrasi, maka KPK sudah saatnya membuat suatu trobosan hukum agar menafsirkan melalui suatu tuntutan terhadap Pejabat koruptor kelas kakap diwujudkan merupakan kejahatan yang merusak ekonomi. Sebagai payung hukum yang harus ditrobos oleh KPK membuat satu uraian kasus dimana koruptor kelas kakap dapat dijerat pasal 2 ayat 2 UU No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang mana pasal tersebut menjelaskan dalam tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Sedangkan pasal 2 ayat 1 UU tersebut menyatakan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidanan penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (Dua Puluh) tahun dan denda paling sedikit 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dari ketentuan tersebut KPK harus mempuyai tekad untuk menumbuhan efek jera dan rasa takut terhadap penguasa di Indonesia ini agar tidak melakukan praktek korupsi, maka untuk itu KPK harus berani membuat penafsiran Pasal 2 ayat 2 dari penjelasan yang menyatakan yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan dimaksudkan sebagai pemberantasan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam kadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
KPK harus membuat penafsiran Negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter karena kondisi keuangan negara sat ini memasuki tahap krisis ekonomi disebabkan masih banyak bangasa dan rakyat Indonesia yang miskin dan ada rakyat yang mati karena tidak makan dan juga ada rakya yang bunuh diri karena miskin. Ada juga rakyat berhenti sekolah karena miskin, pengangguran meningkat terus menerus, pengemis meningkat, begitu juga kondisi Petani dan Nelayan masih mempunyai kehidupan yang miskin walaupun telah berupaya untuk mengadu nasib dalam pekerjaannya tersebut. Brometer inilah yang harus dikemukakan KPK sebagai menunjukan Indonesia saat ini dalam krisi ekonomi dan krisis moneter termasuk juga nilai tukar Rupiah yang semakin menurun.
Dengan kondisi ekonomi negara saat ini yang dalam barometer krisis, maka semua kasus korupsi yang sedang dilakukan penyidikan oleh KPK saat ini, maka sangat wajar dan tepat materi penyidikan terhadap Tersangka maupun saksi dipertanyakan dengan kondisi ekonomi Negara dan kemudian menerapkan pasal 2 ayat 2 UU No. 31 tahun 1999 agar terhadap koruptor dapat dijatuhkan hukuman mati. Supaya tumbuh efek jera dan rasa takut pejabat yang menggunakan uanga negara untuk kepentingan pribadi dan membuat pembangunan bangsa dan negara menjadi tersendat serta menumbuhkan pengangguran serta kemiskinan yang meningkat di Indonesia.
Sebagai pertimbangan KPK untuk menuntut hukuman mati tersebut terhadap Koruptor karena telah merusak ekonomi bangsa menerapkan teori retribution yang dikemukan John Kaplan yang mana John Kaplan mengatakan untuk menindak kejahatan-kejahatan pidana tersebut dapat diajukan dengan teori yaitu : Teori Pembalasan (the revenge theory) dan teori penebusan dosa (the expiation theory)
Dalam teori pembalasan dan teori penebusan dosa ini tujuannya adalah agar menumbuhkan efek jera terhadap penjabat yang menjalankan boirokrasi pemerintah Pemerintah dengan mempergunakan uang negara. Tujuan teori retribution ini agar terwujud kesejahteraan rakyat dalam bernegara yang membuat kehati-hatian Pejabat untuk menjalankan tugasnya dan kewenangannya tersebut. Semoga KPK dapat menerapkan tuntutan hukuman mati untuk koruptor kakap malalui teori retribution atau melalui teori penebusan dosa. Artinya pejabat yang korupsi yang telah memiskinkan rakyat sebagai penebusan dosanya harus dihukum mati.
(EJG)